Jumat, 06 Maret 2015

Alex & Lexie (Part 2)


            Aku duduk sambil melihat mereka. Hatiku terbakar melihat senyuman itu. Senyuman yang tak ditujukan untukku. Aku mencoba sekuat tenaga menguasai emosi yang bergejolak ini.
            Sebenarnya ada apa denganku? Mengapa setiap hari aku selalu ingin melihat sosok itu? Sosok yang selalu kutunggu senyuman dan celotehannya. Perasaan apa ini? Mengapa perutku serasa diaduk-aduk ketika aku melihatnya?
            Lexie benar-benar telah membuatku gila. Kadang aku merasa ia menyukaiku. Namun ketika melihat keakrabannya dengan teman-teman yang lain, sepertinya hal itu tidak mungkin.
            Disinilah aku sekarang. Melihat Lexie dengan teman laki-lakinya yang lain. Bertingkah seolah hal itu biasa-biasa saja untukku. Seandainya hanya aku yang bisa memiliki senyuman itu. Namun aku terlalu pengecut untuk berani memilikinya. Tidak. Aku tidak bisa.
            “Hei, Lex!”
            “Ya?” ucap kami serentak. Semua orang tertawa melihat reaksi kami. Aku hanya melirikkan pandanganku kepada Lexie.
            Aku senang kami memiliki nama panggilan yang sama. Setidaknya itulah alasan kami selalu dapat berkomunikasi. Walaupun sepertinya Lexie merasa tidak nyaman dengan kebiasaan teman-teman yang selalu mengerjai kami.
            Aku sebenarnya ingin duduk di belakang barisan namun entah mengapa hari ini aku memilih duduk di dekat Tommy yang duduk di sebelah Lexie. Dengan begini aku dapat mendengar cerita Lexie lebih jelas. Lexie memang seperti itu. Tidak pernah berhenti berbicara. Aku selalu senang mendengar ceritanya. Kehidupannya terlalu berwarna. Tidak monoton seperti hidupku.
            “Lex, gimana lo sama Kak Rio?” suara Tommy menghancurkan lamunanku.
            “Heh? Orang baru aku acc tadi pagi. Ngechat aja enggak tu orang. Dih apaan sih lo. Gak penting banget.” entah mengapa aku senang sekali mendengar reaksi Lexie.
            “Ya nanti malem paling.”
            “Aduh Tommy…plis! Gue juga gak ngarep segitunya keles.”
            Mata kami bertemu. Lexie sadar aku memperhatikannya. Aku langsung mengalihkan perhatianku kepada buku yang kupegang.
            Aku harus bertindak cepat. Aku tidak boleh membiarkan orang bernama Rio itu mendapatkan perhatian Lexie. Tidak. Namun bagaimana? Semua ini hal yang baru untukku. Ah bukan. Ini bukan perasaan yang sering kubaca di buku-buku. Pasti perasaan ini akan hilang. Aku hanya perlu membiarkannya saja.

Akhir pekan ini kelas kami akan camping di pantai. Tentu saja ini hal yang baru untukku. Sejak ada Lexie, aku banyak mengalami hal yang baru. Entah secara sengaja atau tidak, Lexie selalu menunjukkan hal yang baru padaku. Aku tidak sabar menghabiskan waktu bersama teman-teman sekelas. Tentu saja juga bersama Lexie.
            Kami sekelas berangkat menggunakan empat mobil. Satu mobil diisi lima orang dan tentunya barang-barang kami. Lexie dan teman-temannya memutuskan untuk ikut menumpang mobilku. Aku berusaha mengendalikan diriku ketika Lexie duduk di depan bersamaku.
            Tidak seperti biasanya, dia hari ini diam sekali.
            “Lo kenapa diem aja, Lex?” akhirnya seseroang dibelakang menanyakan pertanyaan itu.
            “Gara-gara Kak Rio, ya?”
            “Kak Rio tu siapa sih?” aku beranikan diriku untuk menanyakan pertanyaan itu. Aku merasakan tatapan Lexie yang langsung tertuju kearahku.
            “Kak Rio itu… mantan tercintanya Lexie. Yakaaaaan?” suara Mery langsung menggema di mobil. Lexie hanya diam tak berkata apa-apa. Mantan tercinta? Apa maksudnya itu? Apakah Lexie masih menyukai mantan pacarnya? Hatiku mencelos memikirkan hal buruk itu.
            “Tauk ah. Gue ngantuk.” Lexie berkata ketus dan mulai memasang headset ditelinga dan memejamkan matanya. Di sepanjang jalan aku hanya dapat melirik Lexie yang tertidur. Seberapa besar arti Kak Rio untuk Lexie sampai membuatnya berhenti berbicara?
            Setelah tiga jam perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat yang kami tuju. Sejenak aku melihat indahnya pemandangan yang ada disana. Langit yang biru senada dengan warna laut. Pohon lembayung yang menambah keindahan pemandangan sekitar. Suara debur ombak yang dalam sekejap menenangkan perasaan gelisah ini.
            Sepertinya Lexie sudah mendapatkan mood-nya kembali karena aku kembali mendengar suaranya yang ceria. Kami menghabiskan sore untuk membuat empat tenda. Aku dan Tommy dengan senang hati membantu kelompok Lexie mendirikan tenda, karena dari mereka berlima tidak ada satupun orang yang tahu cara mendirikan tenda.
            Setelah semua tenda didirikan, kami mempunyai waktu sampai matahari benar-benar tenggelam. Kami menghabiskan waktu dipinggir pantai sambil melihat sunset. Sebagian ada yang bermain air. Beberapa orang menyiapkan acara api unggun untuk nanti malam. Aku memutarkan pandangan ke segala arah. Mencari sosok itu. Disanalah dia. Lexie berjalan sendiri di bibir pantai.
            Aku berdebat dengan diriku sendiri. Apakah aku harus menyusulnya? Namun bagaimana jika semua orang melihat kami? Tapi memang kenapa jika semua orang melihat kami? Apakah itu menjadi masalah? Aku terlalu lama berdebat dengan diriku sendiri sampai Lexie menghilang dari pandanganku. Setidaknya aku harus mencoba.
            Kulangkahkan kaki untuk menyusul Lexie. Sudah tidak ada Lexie di bibir pantai. Lalu kemana dia? Aku berjalan lurus sambil melihat sekitar. Disana. Lexie sedang duduk di batang pohon yang tumbang. Rambut panjangnya berkibar menutupi sebagian wajahnya. Matanya menatap lurus kearah matahari terbenam. Aku sempat berpikir untuk berbalik namun bagaimana aku bisa tahu jika aku tidak pernah mencoba? Bagaimana aku bisa berani jika aku selalu takut?
            “Hei..” sapaku sambil duduk disampingnya. Lexie sepertinya tidak menyangka aku akan menyusulnya. Ia menampakkan wajah terkejut itu dengan sangat jelas. Setengah menit kemudian dia baru balas menyapaku.
            “Kok sendirian aja?” tanyaku basa-basi.
            “Lagi pengen aja.” jawabnya gugup.
            Hening.
            Tidak ada kata yang keluar diantara kami. Entah mengapa keheningan ini mengusikku. Otakku berpikir apa yang harus kukatakan kepada Lexie. Namun bibir ini sama sekali tak mengeluarkan suara apapun. Perasaan apa ini?
            “Segitu pentingnya ya Kak Rio buat kamu?”
            “Maksudmu?”
            “Liat deh, Lex. Dari tadi kamu tuh kebanyakan diem. Kayak bukan kamu. Apa yang istimewa dari Kak Rio sampai buat kamu kaya gini?”
            Lexie tertawa kecil lalu menghela nafas. Ia menyibakkan rambutnya kebelakang. “Gue gak tahu lo pernah ngerasan hal ini sebelumnya apa enggak Lex. Tapi ketika orang yang pernah jadi sesuatu buat elo dateng lagi ke kehidupan elo, apa yang harus lo lakuin? Ketika seharusnya lo udah punya hidup yang baru lagi, tapi ketika dia dateng serasa semua hal balik lagi. Lo harus gimana?”
            “Aku gak tahu Lex.” jawabku jujur.
            “Iya itu yang gue rasain. Gue juga gak tahu harus gimana Lex. Kalo lo tanya apa dia penting banget buat gue, iya dia pernah jadi yang paling penting. Tapi apakah kata “pernah” bisa jadi “lagi”? Enggak kan?”
“Aku gak ngerti.”
“Lo mana pernah ngerti sih Lex. Gue tu lagi berdiri diantara masa lalu yang nyoba narik gue kebelakang dan masa depan yang gak tentu apakah bakal lebih baik atau tambah parah.”
Mata kami bertemu. Aku merasakan kebimbangannya. Aku merasakan kebingungannya. Semua emosi itu sangat jelas terpancar dari wajahnya. Aku ingin sekali mengatakan padanya bahwa aku akan menjadi masa depan yang lebih baik untuknya. Namun nyali ini tak pernah bisa sampai ke tahap itu. Ia menatapku lekat. Kualihkan pandanganku kearah matahari.
“Ya kalo menurutmu masa lalu itu membawa sebagian kebahagiaanmu yang pernah hilang, kenapa gak coba buat berbalik Lex? Kalo emang dia pernah jadi yang terbaik, kenapa gak coba lagi?”
“Karena gue udah nemu yang lebih baik Lex. Tapi masalahnya orang itu bahkan gak pernah ngerti kalo dia bisa jadi yang lebih baik. Orang itu bahkan gak pernah mau tahu.”
Habislah sudah. Lexie ternyata sudah menyukai orang lain. Tentu saja. Mengapa aku bodoh sekali? Aku menghela nafas, lalu berdiri. “Gimana kamu bisa tahu kalo dia gak pernah mau tahu Lex? Kamu belum pernah bilang kan ke orang itu?” aku melangkahkan kakiku menjauhi Lexie.
“Lo ngerti gak sih Lex?! Orang itu tuh elo!”
Langkahku terhenti. Kaget? Tentu saja. Aku tidak menyangka hal ini akan terjadi. Aku tidak mengira bahwa orang yang dimaksud Lexie selama ini adalah aku. Orang yang lebih baik dari Kak Rio adalah… aku?
            Aku berbalik lalu menatap Lexie. Ia berdiri beberapa meter dariku. Rambutnya berkibar menutupi sebagian wajahnya. Ia melangkah pelan mendekatiku. Apa yang harus kulakukan? Aku membeku tak dapat melakukan apapun. Lexie  mengungkapkan perasaanya padaku.


           
           
Share: