Selasa, 01 Desember 2015

The Qualities of a Good Friend



                Friendship can be hurting that is why you need some qualities of a good friend.  There are at least three qualities of a good friend. First, your friend is not afraid of telling that you are wrong when you are wrong. Second, your friend has a time for you even for just an hour. The third is that your friend may not put you as the first priority, but he/she still considers you as an important person.

                A friend can do something wrong even with their own friend. It is a friend’s duty to tell their own friend when they are doing something wrong. When your friend tried to tell you something, you must not get offended to what your friend has said. A good friend is not afraid of telling that you are wrong when you are wrong.

                Another quality of a good friend is that he/she no matter what has a time for you even just for an hour. Quality time between friends is very important. A friendship is never created without a communication. No matter how busy you are, you should spend your time with your friends because that is the thing that makes friendship different from any other relationship. Keeping your friends close is one of the efforts which you should do when you want to prove that you are a good friend.

                A friend may not put you as his/her first priority, but he/she still considers you as an important person that is the third qualities of a good friend. Sometimes, a friend may feel like he/she is abandoned with their own friend. That is the clue when your friend starts to feel that they are not important. You can start making the relationship better by asking him/her out and start to share stories to each other. If you are really considering your friend, no matter how busy you are, you will find a way to make up your relationship. 

                Those are the three qualities of a good friend. A good friend is created. We need to be honest to our friend and we need to always be there for our friend. However, if your schedule is very impossible to have a quality time with your friend, considering your friend as an important person will sure find you a way to solve the problem.
Share:

Jumat, 06 Maret 2015

Alex & Lexie (Part 2)


            Aku duduk sambil melihat mereka. Hatiku terbakar melihat senyuman itu. Senyuman yang tak ditujukan untukku. Aku mencoba sekuat tenaga menguasai emosi yang bergejolak ini.
            Sebenarnya ada apa denganku? Mengapa setiap hari aku selalu ingin melihat sosok itu? Sosok yang selalu kutunggu senyuman dan celotehannya. Perasaan apa ini? Mengapa perutku serasa diaduk-aduk ketika aku melihatnya?
            Lexie benar-benar telah membuatku gila. Kadang aku merasa ia menyukaiku. Namun ketika melihat keakrabannya dengan teman-teman yang lain, sepertinya hal itu tidak mungkin.
            Disinilah aku sekarang. Melihat Lexie dengan teman laki-lakinya yang lain. Bertingkah seolah hal itu biasa-biasa saja untukku. Seandainya hanya aku yang bisa memiliki senyuman itu. Namun aku terlalu pengecut untuk berani memilikinya. Tidak. Aku tidak bisa.
            “Hei, Lex!”
            “Ya?” ucap kami serentak. Semua orang tertawa melihat reaksi kami. Aku hanya melirikkan pandanganku kepada Lexie.
            Aku senang kami memiliki nama panggilan yang sama. Setidaknya itulah alasan kami selalu dapat berkomunikasi. Walaupun sepertinya Lexie merasa tidak nyaman dengan kebiasaan teman-teman yang selalu mengerjai kami.
            Aku sebenarnya ingin duduk di belakang barisan namun entah mengapa hari ini aku memilih duduk di dekat Tommy yang duduk di sebelah Lexie. Dengan begini aku dapat mendengar cerita Lexie lebih jelas. Lexie memang seperti itu. Tidak pernah berhenti berbicara. Aku selalu senang mendengar ceritanya. Kehidupannya terlalu berwarna. Tidak monoton seperti hidupku.
            “Lex, gimana lo sama Kak Rio?” suara Tommy menghancurkan lamunanku.
            “Heh? Orang baru aku acc tadi pagi. Ngechat aja enggak tu orang. Dih apaan sih lo. Gak penting banget.” entah mengapa aku senang sekali mendengar reaksi Lexie.
            “Ya nanti malem paling.”
            “Aduh Tommy…plis! Gue juga gak ngarep segitunya keles.”
            Mata kami bertemu. Lexie sadar aku memperhatikannya. Aku langsung mengalihkan perhatianku kepada buku yang kupegang.
            Aku harus bertindak cepat. Aku tidak boleh membiarkan orang bernama Rio itu mendapatkan perhatian Lexie. Tidak. Namun bagaimana? Semua ini hal yang baru untukku. Ah bukan. Ini bukan perasaan yang sering kubaca di buku-buku. Pasti perasaan ini akan hilang. Aku hanya perlu membiarkannya saja.

Akhir pekan ini kelas kami akan camping di pantai. Tentu saja ini hal yang baru untukku. Sejak ada Lexie, aku banyak mengalami hal yang baru. Entah secara sengaja atau tidak, Lexie selalu menunjukkan hal yang baru padaku. Aku tidak sabar menghabiskan waktu bersama teman-teman sekelas. Tentu saja juga bersama Lexie.
            Kami sekelas berangkat menggunakan empat mobil. Satu mobil diisi lima orang dan tentunya barang-barang kami. Lexie dan teman-temannya memutuskan untuk ikut menumpang mobilku. Aku berusaha mengendalikan diriku ketika Lexie duduk di depan bersamaku.
            Tidak seperti biasanya, dia hari ini diam sekali.
            “Lo kenapa diem aja, Lex?” akhirnya seseroang dibelakang menanyakan pertanyaan itu.
            “Gara-gara Kak Rio, ya?”
            “Kak Rio tu siapa sih?” aku beranikan diriku untuk menanyakan pertanyaan itu. Aku merasakan tatapan Lexie yang langsung tertuju kearahku.
            “Kak Rio itu… mantan tercintanya Lexie. Yakaaaaan?” suara Mery langsung menggema di mobil. Lexie hanya diam tak berkata apa-apa. Mantan tercinta? Apa maksudnya itu? Apakah Lexie masih menyukai mantan pacarnya? Hatiku mencelos memikirkan hal buruk itu.
            “Tauk ah. Gue ngantuk.” Lexie berkata ketus dan mulai memasang headset ditelinga dan memejamkan matanya. Di sepanjang jalan aku hanya dapat melirik Lexie yang tertidur. Seberapa besar arti Kak Rio untuk Lexie sampai membuatnya berhenti berbicara?
            Setelah tiga jam perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat yang kami tuju. Sejenak aku melihat indahnya pemandangan yang ada disana. Langit yang biru senada dengan warna laut. Pohon lembayung yang menambah keindahan pemandangan sekitar. Suara debur ombak yang dalam sekejap menenangkan perasaan gelisah ini.
            Sepertinya Lexie sudah mendapatkan mood-nya kembali karena aku kembali mendengar suaranya yang ceria. Kami menghabiskan sore untuk membuat empat tenda. Aku dan Tommy dengan senang hati membantu kelompok Lexie mendirikan tenda, karena dari mereka berlima tidak ada satupun orang yang tahu cara mendirikan tenda.
            Setelah semua tenda didirikan, kami mempunyai waktu sampai matahari benar-benar tenggelam. Kami menghabiskan waktu dipinggir pantai sambil melihat sunset. Sebagian ada yang bermain air. Beberapa orang menyiapkan acara api unggun untuk nanti malam. Aku memutarkan pandangan ke segala arah. Mencari sosok itu. Disanalah dia. Lexie berjalan sendiri di bibir pantai.
            Aku berdebat dengan diriku sendiri. Apakah aku harus menyusulnya? Namun bagaimana jika semua orang melihat kami? Tapi memang kenapa jika semua orang melihat kami? Apakah itu menjadi masalah? Aku terlalu lama berdebat dengan diriku sendiri sampai Lexie menghilang dari pandanganku. Setidaknya aku harus mencoba.
            Kulangkahkan kaki untuk menyusul Lexie. Sudah tidak ada Lexie di bibir pantai. Lalu kemana dia? Aku berjalan lurus sambil melihat sekitar. Disana. Lexie sedang duduk di batang pohon yang tumbang. Rambut panjangnya berkibar menutupi sebagian wajahnya. Matanya menatap lurus kearah matahari terbenam. Aku sempat berpikir untuk berbalik namun bagaimana aku bisa tahu jika aku tidak pernah mencoba? Bagaimana aku bisa berani jika aku selalu takut?
            “Hei..” sapaku sambil duduk disampingnya. Lexie sepertinya tidak menyangka aku akan menyusulnya. Ia menampakkan wajah terkejut itu dengan sangat jelas. Setengah menit kemudian dia baru balas menyapaku.
            “Kok sendirian aja?” tanyaku basa-basi.
            “Lagi pengen aja.” jawabnya gugup.
            Hening.
            Tidak ada kata yang keluar diantara kami. Entah mengapa keheningan ini mengusikku. Otakku berpikir apa yang harus kukatakan kepada Lexie. Namun bibir ini sama sekali tak mengeluarkan suara apapun. Perasaan apa ini?
            “Segitu pentingnya ya Kak Rio buat kamu?”
            “Maksudmu?”
            “Liat deh, Lex. Dari tadi kamu tuh kebanyakan diem. Kayak bukan kamu. Apa yang istimewa dari Kak Rio sampai buat kamu kaya gini?”
            Lexie tertawa kecil lalu menghela nafas. Ia menyibakkan rambutnya kebelakang. “Gue gak tahu lo pernah ngerasan hal ini sebelumnya apa enggak Lex. Tapi ketika orang yang pernah jadi sesuatu buat elo dateng lagi ke kehidupan elo, apa yang harus lo lakuin? Ketika seharusnya lo udah punya hidup yang baru lagi, tapi ketika dia dateng serasa semua hal balik lagi. Lo harus gimana?”
            “Aku gak tahu Lex.” jawabku jujur.
            “Iya itu yang gue rasain. Gue juga gak tahu harus gimana Lex. Kalo lo tanya apa dia penting banget buat gue, iya dia pernah jadi yang paling penting. Tapi apakah kata “pernah” bisa jadi “lagi”? Enggak kan?”
“Aku gak ngerti.”
“Lo mana pernah ngerti sih Lex. Gue tu lagi berdiri diantara masa lalu yang nyoba narik gue kebelakang dan masa depan yang gak tentu apakah bakal lebih baik atau tambah parah.”
Mata kami bertemu. Aku merasakan kebimbangannya. Aku merasakan kebingungannya. Semua emosi itu sangat jelas terpancar dari wajahnya. Aku ingin sekali mengatakan padanya bahwa aku akan menjadi masa depan yang lebih baik untuknya. Namun nyali ini tak pernah bisa sampai ke tahap itu. Ia menatapku lekat. Kualihkan pandanganku kearah matahari.
“Ya kalo menurutmu masa lalu itu membawa sebagian kebahagiaanmu yang pernah hilang, kenapa gak coba buat berbalik Lex? Kalo emang dia pernah jadi yang terbaik, kenapa gak coba lagi?”
“Karena gue udah nemu yang lebih baik Lex. Tapi masalahnya orang itu bahkan gak pernah ngerti kalo dia bisa jadi yang lebih baik. Orang itu bahkan gak pernah mau tahu.”
Habislah sudah. Lexie ternyata sudah menyukai orang lain. Tentu saja. Mengapa aku bodoh sekali? Aku menghela nafas, lalu berdiri. “Gimana kamu bisa tahu kalo dia gak pernah mau tahu Lex? Kamu belum pernah bilang kan ke orang itu?” aku melangkahkan kakiku menjauhi Lexie.
“Lo ngerti gak sih Lex?! Orang itu tuh elo!”
Langkahku terhenti. Kaget? Tentu saja. Aku tidak menyangka hal ini akan terjadi. Aku tidak mengira bahwa orang yang dimaksud Lexie selama ini adalah aku. Orang yang lebih baik dari Kak Rio adalah… aku?
            Aku berbalik lalu menatap Lexie. Ia berdiri beberapa meter dariku. Rambutnya berkibar menutupi sebagian wajahnya. Ia melangkah pelan mendekatiku. Apa yang harus kulakukan? Aku membeku tak dapat melakukan apapun. Lexie  mengungkapkan perasaanya padaku.


           
           
Share:

Minggu, 22 Februari 2015

Alex & Lexie ( Part 1 )


“Lex?”
“Ya?” respon mereka secara bersamaan. Mereka hanya bertukar pandang setelah itu. Semua orang tertawa melihat reaksi mereka. Sudah barang tentu mereka akan merespon panggilan “Lex” itu karena sudah begitulah cara mereka dipanggil.
Alex adalah seorang lelaki pendiam di kelas kami. Berbeda dari laki-laki yang lain, dia tidak banyak berbicara. Bahkan dalam setiap kesempatan dia selalu memilih untuk membaca buku. Namun bukan berarti dia menutup dirinya sendiri dalam pergaulan. Dia sebenarnya adalah orang yang bisa diajak berbicara. Hanya saja dia tidak banyak memulai sebuah pembicaraan. Dia tipe laki-laki yang selalu berpikir  apakah perkatannya salah atau apakah perkataannya  menyakiti orang lain.
            Berbeda sekali dengan temanku, Lexie. Mereka boleh saja mempunyai nama panggilan yang sama namun perilaku mereka sangat bertolak belakang. Jika Alex adalah laki-laki yang paling diam di kelas kami, maka Lexie adalah orang yang paling tidak bisa diam di kelas kami. Jika Alex adalah orang yang paling terakhir mengomentari cerita kami maka Lexie adalah orang yang paling pertama berkomentar. Aku suka cara Lexie. Dia tidak pernah takut untuk menjadi dirinya sendiri. Dia tidak pernah takut mengungkapkan pendapatnya dalam suatu masalah.
            “Maksud gue Alex. Sori Lex. Eh Lexie.” 
            “Lex, lo ganti nama deh biar gak dikerjain mulu.” Celoteh Lexie. Namun tentu saja itu hanya sebuah lelucon. Alex hanya tersenyum dan tidak menanggapi apapun.
            “Cie…” aku membisikkan kata itu kepada Lexie. Dia hanya membalasku dengan senyuman.
            Ada satu kenyataan yang hanya diketahui olehku. Kenyataan bahwa temanku yang paling banyak bicara ini suka kepada temanku yang paling sedikit berbicara itu. Ya. Lexie menyukai Alex.
            Aku juga heran mengapa seorang seperti Lexie menyukai seorang seperti Alex. Jika memang Alex juga menyukai Lexie, ia adalah orang paling terakhir yang akan memperjuangkan Lexie. Bahkan dengan melihatnya saja sudah bisa terlihat bahwa dia bukan laki-laki yang tertarik dengan urusan percintaan. Namun justru itulah yang dicari Lexie. Lexie bukan tipe perempuan yang suka didekati laki-laki. Dia lebih suka memperjuangkan laki-laki itu. “Ya kan kalo kita yang ngejar. tipe cowok itu sesuai banget sama yang kita mau. Beda kalo kita dikejar cowok, pasti kita harus nerima ketika cowok itu dateng ke kita kan?!” Begitulah alasan Lexie ketika kutanya mengapa ia tidak suka dengan laki-laki yang mengejarnya.
            Namun itu adalah Lexie yang dulu. Semenjak hubungan dengan seseroang yang dia perjuangankan berkahir dua tahun yang lalu, ia tidak pernah lagi berani memperjuangkan cintanya. Bahkan belum ada yang bisa menggantikan sosok laki-laki itu. Sampai akhirnya ia bertemu Alex. Orang yang benar-benar lebih dari seseorang di masa lalu Lexie.
Sifat diam Alex memang kadang membuat Lexie benar-benar ingin memperjuangankannya. Namun sekali lagi, Lexie takut perjuangan Lexie hanya akan berakhir sama seperti sebelumnya. Maka dari itu Lexie memutuskan untuk diam dan berharap suatu hari perasaannya kepada Alex bisa berubah.
            “Gue bisa gilaaaak Merr!!” keluh Lexie.
            “Sabar. Bentar lagi juga dateng makanannya.”
            “Bukan. Bukan makanannya.”
            “Terus apa dong? Alex?”
            “Iya. Gue kok makin kesini makin suka ya sama dia? Ah gue bisa gila. Eh tapi gue gak kelihatan kan kalo suka sama dia?”
            “Ya justru itu. Elo gak pernah kelihatan kalo elo suka sama dia makanya hubungan kalian gak pernah beranjak dari tahap temenan. Tunjukin dong.”
            “Ya kalo pas gue tunjukin dia ngerespon. Kalo dia takut terus malah ngejauh? Kita sekelas Mer. Lo pikir?!”
            “Ya berarti elo harus cari cowok lain.” Balasku dengan santai. Pelayan datang membawa pesanan kami. Kami tidak membahas Alex lagi setelah itu.
            Lexie sering sekali menunjukkan perhatiannya pada Alex secara tidak disengaja. Dia sering mencuri kesempatan berbicara kepada Alex bahkan mengajaknya bercanda. Tetapi Lexie tidak pernah menunjukkan perasaanya secara jelas. Lexie selalu bersikap ramah kepada teman laki-lakinya karena dia memang seperti itu. Tidak ada yang pernah ia sembunyikan. Hal itulah yang membuat teman-teman kami tidak menyadari perasaan Lexie kepada Alex kecuali aku yang memang sudah diberi tahu Lexie.
            Lexie punya banyak sekali teman laki-laki. Dia adalah orang yang mudah akrab dengan orang lain. Tidak perduli itu laki-laki atau perempuan. Namun ketika Lexie sudah tidak menyukai seseorang, ia akan menunjukkan rasa ketidaksukaannya dengan jelas. Terlalu jelas malah. Menurutku Lexie memang benar pintar menyembunyikan perasaan pribadinya. Aku juga tidak akan pernah tahu bahawa Lexie menyukai Alex jika ia tidak pernah memberitahuku hal itu. Itulah persamaannya dengan Alex.
            Aku juga tidak berani menilai apakah Alex mempunyai perasaan yang sama. Seperti yang kubilang, mereka pintar menyembunyikan perasaanya. Alex selalu merespon ketika Lexie mengajaknya berbicara. Namun ia juga melakukan hal yang sama dengan teman-teman perempuan yang lain. Kadang aku juga merasa bahwa Alex lebih dekat dengan Lexie daripada teman-teman perempuan yang lain, namun kadang aku juga melihat perilaku cuek Alex ketika Lexie sedang bercerita di kelas. Tetapi kadang aku juga melihat perhatian kecil Alex kepada Lexie. Entah itu memang bagian sifat baik dia atau ada sesuatu yang lain.
            Alex dapat berperilaku baik dengan semua perempuan. Begitu juga dengan Lexie, ia bisa bersikap ramah dengan semua teman laki-lakinya. Bahkan pernah aku melihat keakraban Lexie dan teman lamanya. Aku bahkan hampir tidak bisa membedakan apakah mereka sedang saling merayu atau saling bercanda.
            Suatu hari kami bertiga –aku, Lexie dan Alex sedang berdiskusi di kelas. Lexie selalu berusaha berbicara dengan Alex dan Alex juga selalu menanggapi Lexie. Mereka berdua kadang benar-benar membuatku bingung. Lalu datang ketua kelas kami –Tommy.
            “Lex dapet salam.” Katanya sambil mengambil sebuah kursi dan duduk bersama kami.
            “Lex siapa nih?” Tanya Lexie.
            “Lex siapa lagi yang sering dapet salam kalo bukan elo, Lexie?”
            “Jadi maksudmu aku jarang dapet salam?” Alex menyambung.
            “Ya gak gitu juga sih Lex.”
            “Salam dari siapa?” Aku yang penasaran bertanya pada Tommy.
            “Dari ituloh Kak Rio. Katanya dia minta pin elo.”
            “Dih bohong banget.” Jawab Lexie tidak percaya. Entah mengapa aku melihat Alex yang langsung mengarahkan pandangannya kepada Lexie. Ia seperti ingin melihat reaksi Lexie.
            “Ye beneran nih. Gue boleh kasih kagak?”
            “Serah elo.”
            “Oke boleh berarti. Cie Lexie dapet gebetan.” seru Tommy sampai teman-teman kami melihat kearah kami.
            “Udah bairin si Tommy mau bilang apa. Eh Alex?” Lexie langsung mengalihkan perhatian.
            “Ya?” seru Alex. Namun Tommy memotong pembicaraan semua orang. Ia maju kedepan kelas sambil berdeham-deham. “Temen-temen… Gue ada pengumuman nih.”
            “Pengumuman apa lagi?” tanyaku.
            “Jadi gini, gimana kalo kita liburan bareng?”
            “Liburan kemane?” celetuk salah satu temanku.
            “Gimana kalo naik gunung? Ke Merapi?” usul Tommy.
            “OGAH!” Lexie yang memang tidak suka naik gunung langsung merespon Tommy.
            “Yaelah Lex. Lo harus coba naik gunung. Asyik tahu!” seru Tommy.
            “Setuju gue, naik gunung aja yuk?!” seru temanku yang lain.
            “Apa enaknya sih naik gunung? Capek keles. Mending ke pantai aja yuk? Camping di pantai. Kan asyik tuh. Cari yang ada sunsetnya. Ah keren tuh pasti.” cerocos Lexie panjang lebar.
            “Gue gak suka ke pantai.”
            “Iya gue juga.”
            “Aku belum pernah camping di pantai. Ke pantai aja yuk?!” Alex tiba-tiba berbicara. Lexie langsung menoleh kepada Alex dan tersenyum girang.
            “Nah gitu dong Lex. Sekali-kali kita klop gitu kan asyik.”
            “Yaudah kalian berdua aja yang ke pantai.”
            Suara “cie” langsung menggema di kelas. Pipi mereka berdua merona. Aku tertawa dalam hati melihat ekspresi mereka. Namun pada akhirnya aku setuju dengan usul mereka. Lalu kami mengadakan voting dan ternyata yang memenangkan voting adalah acara camping di pantai. Lexie senang bukan kepalang.
            “Thanks ya Lex udah ngebelain.”
            “Ngebelain apa? Aku emang pingin camping di pantai kok.”
            “Ya at least you help me.”
            “Oh. Kalo kamu ngerasa gitu sih. Ya sama-sama.”
            Begitulah Alex dan Lexie. Aku rasa mereka akan tetap seperti itu. Seandainya Alex menyukai Lexie-pun, Alex tidak mungkin memulai sedangkan Lexie juga tidak ingin mempertaruhkan hatinya untuk hal yang tidak mungkin. Lexie sadar banyak perbedaan diantara mereka dan memperjuangkan Alex hanya akan membuat keadaan bertambah tidak jelas diantara mereka.
            Tentu saja sulit bagi Lexie untuk menerima kenyataan bahwa mereka hanya bisa menjadi teman. Tapi Lexie tidak ingin merubah keadaan diantara mereka menjadi keadaan yang canggung. Toh menurut Lexie, rasa suka itu akan hilang sendiri pada waktunya.

                         
Share: