Aku duduk
sambil melihat mereka. Hatiku terbakar melihat senyuman itu. Senyuman yang tak
ditujukan untukku. Aku mencoba sekuat tenaga menguasai emosi yang bergejolak
ini.
Sebenarnya
ada apa denganku? Mengapa setiap hari aku selalu ingin melihat sosok itu? Sosok
yang selalu kutunggu senyuman dan celotehannya. Perasaan apa ini? Mengapa
perutku serasa diaduk-aduk ketika aku melihatnya?
Lexie
benar-benar telah membuatku gila. Kadang aku merasa ia menyukaiku. Namun ketika
melihat keakrabannya dengan teman-teman yang lain, sepertinya hal itu tidak
mungkin.
Disinilah
aku sekarang. Melihat Lexie dengan teman laki-lakinya yang lain. Bertingkah
seolah hal itu biasa-biasa saja untukku. Seandainya hanya aku yang bisa
memiliki senyuman itu. Namun aku terlalu pengecut untuk berani memilikinya.
Tidak. Aku tidak bisa.
“Hei,
Lex!”
“Ya?”
ucap kami serentak. Semua orang tertawa melihat reaksi kami. Aku hanya
melirikkan pandanganku kepada Lexie.
Aku
senang kami memiliki nama panggilan yang sama. Setidaknya itulah alasan kami
selalu dapat berkomunikasi. Walaupun sepertinya Lexie merasa tidak nyaman
dengan kebiasaan teman-teman yang selalu mengerjai kami.
Aku
sebenarnya ingin duduk di belakang barisan namun entah mengapa hari ini aku
memilih duduk di dekat Tommy yang duduk di sebelah Lexie. Dengan begini aku
dapat mendengar cerita Lexie lebih jelas. Lexie memang seperti itu. Tidak
pernah berhenti berbicara. Aku selalu senang mendengar ceritanya. Kehidupannya
terlalu berwarna. Tidak monoton seperti hidupku.
“Lex,
gimana lo sama Kak Rio?” suara Tommy menghancurkan lamunanku.
“Heh?
Orang baru aku acc tadi pagi. Ngechat aja enggak tu orang. Dih apaan sih lo.
Gak penting banget.” entah mengapa aku senang sekali mendengar reaksi Lexie.
“Ya
nanti malem paling.”
“Aduh
Tommy…plis! Gue juga gak ngarep segitunya keles.”
Mata
kami bertemu. Lexie sadar aku memperhatikannya. Aku langsung mengalihkan
perhatianku kepada buku yang kupegang.
Aku
harus bertindak cepat. Aku tidak boleh membiarkan orang bernama Rio itu
mendapatkan perhatian Lexie. Tidak. Namun bagaimana? Semua ini hal yang baru
untukku. Ah bukan. Ini bukan perasaan yang sering kubaca di buku-buku. Pasti
perasaan ini akan hilang. Aku hanya perlu membiarkannya saja.
Akhir pekan ini kelas kami akan camping di pantai.
Tentu saja ini hal yang baru untukku. Sejak ada Lexie, aku banyak mengalami hal
yang baru. Entah secara sengaja atau tidak, Lexie selalu menunjukkan hal yang
baru padaku. Aku tidak sabar menghabiskan waktu bersama teman-teman sekelas.
Tentu saja juga bersama Lexie.
Kami
sekelas berangkat menggunakan empat mobil. Satu mobil diisi lima orang dan
tentunya barang-barang kami. Lexie dan teman-temannya memutuskan untuk ikut
menumpang mobilku. Aku berusaha mengendalikan diriku ketika Lexie duduk di
depan bersamaku.
Tidak
seperti biasanya, dia hari ini diam sekali.
“Lo
kenapa diem aja, Lex?” akhirnya seseroang dibelakang menanyakan pertanyaan itu.
“Gara-gara
Kak Rio, ya?”
“Kak
Rio tu siapa sih?” aku beranikan diriku untuk menanyakan pertanyaan itu. Aku
merasakan tatapan Lexie yang langsung tertuju kearahku.
“Kak
Rio itu… mantan tercintanya Lexie. Yakaaaaan?” suara Mery langsung menggema di
mobil. Lexie hanya diam tak berkata apa-apa. Mantan tercinta? Apa maksudnya
itu? Apakah Lexie masih menyukai mantan pacarnya? Hatiku mencelos memikirkan
hal buruk itu.
“Tauk
ah. Gue ngantuk.” Lexie berkata ketus dan mulai memasang headset ditelinga dan
memejamkan matanya. Di sepanjang jalan aku hanya dapat melirik Lexie yang
tertidur. Seberapa besar arti Kak Rio untuk Lexie sampai membuatnya berhenti
berbicara?
Setelah
tiga jam perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat yang kami tuju. Sejenak aku
melihat indahnya pemandangan yang ada disana. Langit yang biru senada dengan
warna laut. Pohon lembayung yang menambah keindahan pemandangan sekitar. Suara
debur ombak yang dalam sekejap menenangkan perasaan gelisah ini.
Sepertinya
Lexie sudah mendapatkan mood-nya kembali karena aku kembali mendengar suaranya
yang ceria. Kami menghabiskan sore untuk membuat empat tenda. Aku dan Tommy
dengan senang hati membantu kelompok Lexie mendirikan tenda, karena dari mereka
berlima tidak ada satupun orang yang tahu cara mendirikan tenda.
Setelah
semua tenda didirikan, kami mempunyai waktu sampai matahari benar-benar
tenggelam. Kami menghabiskan waktu dipinggir pantai sambil melihat sunset.
Sebagian ada yang bermain air. Beberapa orang menyiapkan acara api unggun untuk
nanti malam. Aku memutarkan pandangan ke segala arah. Mencari sosok itu.
Disanalah dia. Lexie berjalan sendiri di bibir pantai.
Aku
berdebat dengan diriku sendiri. Apakah aku harus menyusulnya? Namun bagaimana
jika semua orang melihat kami? Tapi memang kenapa jika semua orang melihat
kami? Apakah itu menjadi masalah? Aku terlalu lama berdebat dengan diriku
sendiri sampai Lexie menghilang dari pandanganku. Setidaknya aku harus mencoba.
Kulangkahkan
kaki untuk menyusul Lexie. Sudah tidak ada Lexie di bibir pantai. Lalu kemana
dia? Aku berjalan lurus sambil melihat sekitar. Disana. Lexie sedang duduk di
batang pohon yang tumbang. Rambut panjangnya berkibar menutupi sebagian
wajahnya. Matanya menatap lurus kearah matahari terbenam. Aku sempat berpikir
untuk berbalik namun bagaimana aku bisa tahu jika aku tidak pernah mencoba?
Bagaimana aku bisa berani jika aku selalu takut?
“Hei..”
sapaku sambil duduk disampingnya. Lexie sepertinya tidak menyangka aku akan
menyusulnya. Ia menampakkan wajah terkejut itu dengan sangat jelas. Setengah
menit kemudian dia baru balas menyapaku.
“Kok
sendirian aja?” tanyaku basa-basi.
“Lagi
pengen aja.” jawabnya gugup.
Hening.
Tidak
ada kata yang keluar diantara kami. Entah mengapa keheningan ini mengusikku.
Otakku berpikir apa yang harus kukatakan kepada Lexie. Namun bibir ini sama
sekali tak mengeluarkan suara apapun. Perasaan apa ini?
“Segitu
pentingnya ya Kak Rio buat kamu?”
“Maksudmu?”
“Liat
deh, Lex. Dari tadi kamu tuh kebanyakan diem. Kayak bukan kamu. Apa yang
istimewa dari Kak Rio sampai buat kamu kaya gini?”
Lexie
tertawa kecil lalu menghela nafas. Ia menyibakkan rambutnya kebelakang. “Gue
gak tahu lo pernah ngerasan hal ini sebelumnya apa enggak Lex. Tapi ketika
orang yang pernah jadi sesuatu buat elo dateng lagi ke kehidupan elo, apa yang
harus lo lakuin? Ketika seharusnya lo udah punya hidup yang baru lagi, tapi
ketika dia dateng serasa semua hal balik lagi. Lo harus gimana?”
“Aku
gak tahu Lex.” jawabku jujur.
“Iya
itu yang gue rasain. Gue juga gak tahu harus gimana Lex. Kalo lo tanya apa dia
penting banget buat gue, iya dia pernah jadi yang paling penting. Tapi apakah
kata “pernah” bisa jadi “lagi”? Enggak kan?”
“Aku gak ngerti.”
“Lo mana pernah ngerti sih Lex. Gue tu lagi berdiri
diantara masa lalu yang nyoba narik gue kebelakang dan masa depan yang gak
tentu apakah bakal lebih baik atau tambah parah.”
Mata kami bertemu. Aku merasakan kebimbangannya. Aku
merasakan kebingungannya. Semua emosi itu sangat jelas terpancar dari wajahnya.
Aku ingin sekali mengatakan padanya bahwa aku akan menjadi masa depan yang
lebih baik untuknya. Namun nyali ini tak pernah bisa sampai ke tahap itu. Ia
menatapku lekat. Kualihkan pandanganku kearah matahari.
“Ya kalo menurutmu masa lalu itu membawa sebagian
kebahagiaanmu yang pernah hilang, kenapa gak coba buat berbalik Lex? Kalo emang
dia pernah jadi yang terbaik, kenapa gak coba lagi?”
“Karena gue udah nemu yang lebih baik Lex. Tapi
masalahnya orang itu bahkan gak pernah ngerti kalo dia bisa jadi yang lebih
baik. Orang itu bahkan gak pernah mau tahu.”
Habislah sudah. Lexie ternyata sudah menyukai orang
lain. Tentu saja. Mengapa aku bodoh sekali? Aku menghela nafas, lalu berdiri.
“Gimana kamu bisa tahu kalo dia gak pernah mau tahu Lex? Kamu belum pernah
bilang kan ke orang itu?” aku melangkahkan kakiku menjauhi Lexie.
“Lo ngerti gak sih Lex?! Orang itu tuh elo!”
Langkahku terhenti. Kaget? Tentu saja. Aku tidak
menyangka hal ini akan terjadi. Aku tidak mengira bahwa orang yang dimaksud
Lexie selama ini adalah aku. Orang yang lebih baik dari Kak Rio adalah… aku?
Aku
berbalik lalu menatap Lexie. Ia berdiri beberapa meter dariku. Rambutnya
berkibar menutupi sebagian wajahnya. Ia melangkah pelan mendekatiku. Apa yang
harus kulakukan? Aku membeku tak dapat melakukan apapun. Lexie mengungkapkan perasaanya padaku.