“Lex?”
“Ya?” respon mereka secara bersamaan. Mereka hanya
bertukar pandang setelah itu. Semua orang tertawa melihat reaksi mereka. Sudah
barang tentu mereka akan merespon panggilan “Lex” itu karena sudah begitulah
cara mereka dipanggil.
Alex adalah seorang lelaki pendiam di kelas kami.
Berbeda dari laki-laki yang lain, dia tidak banyak berbicara. Bahkan dalam
setiap kesempatan dia selalu memilih untuk membaca buku. Namun bukan berarti
dia menutup dirinya sendiri dalam pergaulan. Dia sebenarnya adalah orang yang bisa
diajak berbicara. Hanya saja dia tidak banyak memulai sebuah pembicaraan. Dia
tipe laki-laki yang selalu berpikir
apakah perkatannya salah atau apakah perkataannya menyakiti orang lain.
Berbeda
sekali dengan temanku, Lexie. Mereka boleh saja mempunyai nama panggilan yang
sama namun perilaku mereka sangat bertolak belakang. Jika Alex adalah laki-laki
yang paling diam di kelas kami, maka Lexie adalah orang yang paling tidak bisa
diam di kelas kami. Jika Alex adalah orang yang paling terakhir mengomentari
cerita kami maka Lexie adalah orang yang paling pertama berkomentar. Aku suka
cara Lexie. Dia tidak pernah takut untuk menjadi dirinya sendiri. Dia tidak
pernah takut mengungkapkan pendapatnya dalam suatu masalah.
“Maksud
gue Alex. Sori Lex. Eh Lexie.”
“Lex,
lo ganti nama deh biar gak dikerjain mulu.” Celoteh Lexie. Namun tentu saja itu
hanya sebuah lelucon. Alex hanya tersenyum dan tidak menanggapi apapun.
“Cie…”
aku membisikkan kata itu kepada Lexie. Dia hanya membalasku dengan senyuman.
Ada
satu kenyataan yang hanya diketahui olehku. Kenyataan bahwa temanku yang paling
banyak bicara ini suka kepada temanku yang paling sedikit berbicara itu. Ya.
Lexie menyukai Alex.
Aku
juga heran mengapa seorang seperti Lexie menyukai seorang seperti Alex. Jika
memang Alex juga menyukai Lexie, ia adalah orang paling terakhir yang akan
memperjuangkan Lexie. Bahkan dengan melihatnya saja sudah bisa terlihat bahwa
dia bukan laki-laki yang tertarik dengan urusan percintaan. Namun justru itulah
yang dicari Lexie. Lexie bukan tipe perempuan yang suka didekati laki-laki. Dia
lebih suka memperjuangkan laki-laki itu. “Ya kan kalo kita yang ngejar. tipe
cowok itu sesuai banget sama yang kita mau. Beda kalo kita dikejar cowok, pasti
kita harus nerima ketika cowok itu dateng ke kita kan?!” Begitulah alasan Lexie
ketika kutanya mengapa ia tidak suka dengan laki-laki yang mengejarnya.
Namun
itu adalah Lexie yang dulu. Semenjak hubungan dengan seseroang yang dia
perjuangankan berkahir dua tahun yang lalu, ia tidak pernah lagi berani
memperjuangkan cintanya. Bahkan belum ada yang bisa menggantikan sosok
laki-laki itu. Sampai akhirnya ia bertemu Alex. Orang yang benar-benar lebih
dari seseorang di masa lalu Lexie.
Sifat diam Alex memang kadang membuat Lexie benar-benar
ingin memperjuangankannya. Namun sekali lagi, Lexie takut perjuangan Lexie
hanya akan berakhir sama seperti sebelumnya. Maka dari itu Lexie memutuskan
untuk diam dan berharap suatu hari perasaannya kepada Alex bisa berubah.
“Gue
bisa gilaaaak Merr!!” keluh Lexie.
“Sabar.
Bentar lagi juga dateng makanannya.”
“Bukan.
Bukan makanannya.”
“Terus
apa dong? Alex?”
“Iya.
Gue kok makin kesini makin suka ya sama dia? Ah gue bisa gila. Eh tapi gue gak
kelihatan kan kalo suka sama dia?”
“Ya
justru itu. Elo gak pernah kelihatan kalo elo suka sama dia makanya hubungan
kalian gak pernah beranjak dari tahap temenan. Tunjukin dong.”
“Ya
kalo pas gue tunjukin dia ngerespon. Kalo dia takut terus malah ngejauh? Kita
sekelas Mer. Lo pikir?!”
“Ya
berarti elo harus cari cowok lain.” Balasku dengan santai. Pelayan datang
membawa pesanan kami. Kami tidak membahas Alex lagi setelah itu.
Lexie
sering sekali menunjukkan perhatiannya pada Alex secara tidak disengaja. Dia
sering mencuri kesempatan berbicara kepada Alex bahkan mengajaknya bercanda.
Tetapi Lexie tidak pernah menunjukkan perasaanya secara jelas. Lexie selalu
bersikap ramah kepada teman laki-lakinya karena dia memang seperti itu. Tidak
ada yang pernah ia sembunyikan. Hal itulah yang membuat teman-teman kami tidak
menyadari perasaan Lexie kepada Alex kecuali aku yang memang sudah diberi tahu
Lexie.
Lexie
punya banyak sekali teman laki-laki. Dia adalah orang yang mudah akrab dengan
orang lain. Tidak perduli itu laki-laki atau perempuan. Namun ketika Lexie
sudah tidak menyukai seseorang, ia akan menunjukkan rasa ketidaksukaannya
dengan jelas. Terlalu jelas malah. Menurutku Lexie memang benar pintar
menyembunyikan perasaan pribadinya. Aku juga tidak akan pernah tahu bahawa
Lexie menyukai Alex jika ia tidak pernah memberitahuku hal itu. Itulah
persamaannya dengan Alex.
Aku
juga tidak berani menilai apakah Alex mempunyai perasaan yang sama. Seperti
yang kubilang, mereka pintar menyembunyikan perasaanya. Alex selalu merespon
ketika Lexie mengajaknya berbicara. Namun ia juga melakukan hal yang sama
dengan teman-teman perempuan yang lain. Kadang aku juga merasa bahwa Alex lebih
dekat dengan Lexie daripada teman-teman perempuan yang lain, namun kadang aku
juga melihat perilaku cuek Alex ketika Lexie sedang bercerita di kelas. Tetapi
kadang aku juga melihat perhatian kecil Alex kepada Lexie. Entah itu memang bagian
sifat baik dia atau ada sesuatu yang lain.
Alex dapat
berperilaku baik dengan semua perempuan. Begitu juga dengan Lexie, ia bisa
bersikap ramah dengan semua teman laki-lakinya. Bahkan pernah aku melihat
keakraban Lexie dan teman lamanya. Aku bahkan hampir tidak bisa membedakan
apakah mereka sedang saling merayu atau saling bercanda.
Suatu
hari kami bertiga –aku, Lexie dan Alex sedang berdiskusi di kelas. Lexie selalu
berusaha berbicara dengan Alex dan Alex juga selalu menanggapi Lexie. Mereka
berdua kadang benar-benar membuatku bingung. Lalu datang ketua kelas kami
–Tommy.
“Lex
dapet salam.” Katanya sambil mengambil sebuah kursi dan duduk bersama kami.
“Lex
siapa nih?” Tanya Lexie.
“Lex
siapa lagi yang sering dapet salam kalo bukan elo, Lexie?”
“Jadi
maksudmu aku jarang dapet salam?” Alex menyambung.
“Ya
gak gitu juga sih Lex.”
“Salam
dari siapa?” Aku yang penasaran bertanya pada Tommy.
“Dari
ituloh Kak Rio. Katanya dia minta pin elo.”
“Dih
bohong banget.” Jawab Lexie tidak percaya. Entah mengapa aku melihat Alex yang
langsung mengarahkan pandangannya kepada Lexie. Ia seperti ingin melihat reaksi
Lexie.
“Ye
beneran nih. Gue boleh kasih kagak?”
“Serah
elo.”
“Oke
boleh berarti. Cie Lexie dapet gebetan.” seru Tommy sampai teman-teman kami melihat
kearah kami.
“Udah
bairin si Tommy mau bilang apa. Eh Alex?” Lexie langsung mengalihkan perhatian.
“Ya?”
seru Alex. Namun Tommy memotong pembicaraan semua orang. Ia maju kedepan kelas
sambil berdeham-deham. “Temen-temen… Gue ada pengumuman nih.”
“Pengumuman
apa lagi?” tanyaku.
“Jadi
gini, gimana kalo kita liburan bareng?”
“Liburan
kemane?” celetuk salah satu temanku.
“Gimana
kalo naik gunung? Ke Merapi?” usul Tommy.
“OGAH!”
Lexie yang memang tidak suka naik gunung langsung merespon Tommy.
“Yaelah
Lex. Lo harus coba naik gunung. Asyik tahu!” seru Tommy.
“Setuju
gue, naik gunung aja yuk?!” seru temanku yang lain.
“Apa
enaknya sih naik gunung? Capek keles. Mending ke pantai aja yuk? Camping di
pantai. Kan asyik tuh. Cari yang ada sunsetnya. Ah keren tuh pasti.” cerocos
Lexie panjang lebar.
“Gue
gak suka ke pantai.”
“Iya
gue juga.”
“Aku
belum pernah camping di pantai. Ke pantai aja yuk?!” Alex tiba-tiba berbicara.
Lexie langsung menoleh kepada Alex dan tersenyum girang.
“Nah
gitu dong Lex. Sekali-kali kita klop gitu kan asyik.”
“Yaudah
kalian berdua aja yang ke pantai.”
Suara
“cie” langsung menggema di kelas. Pipi mereka berdua merona. Aku tertawa dalam
hati melihat ekspresi mereka. Namun pada akhirnya aku setuju dengan usul
mereka. Lalu kami mengadakan voting dan ternyata yang memenangkan voting adalah
acara camping di pantai. Lexie senang bukan kepalang.
“Thanks
ya Lex udah ngebelain.”
“Ngebelain
apa? Aku emang pingin camping di pantai kok.”
“Ya at
least you help me.”
“Oh.
Kalo kamu ngerasa gitu sih. Ya sama-sama.”
Begitulah
Alex dan Lexie. Aku rasa mereka akan tetap seperti itu. Seandainya Alex
menyukai Lexie-pun, Alex tidak mungkin memulai sedangkan Lexie juga tidak ingin
mempertaruhkan hatinya untuk hal yang tidak mungkin. Lexie sadar banyak
perbedaan diantara mereka dan memperjuangkan Alex hanya akan membuat keadaan
bertambah tidak jelas diantara mereka.
Tentu
saja sulit bagi Lexie untuk menerima kenyataan bahwa mereka hanya bisa menjadi
teman. Tapi Lexie tidak ingin merubah keadaan diantara mereka menjadi keadaan
yang canggung. Toh menurut Lexie, rasa suka itu akan hilang sendiri pada
waktunya.